Hobi traveling membuat gw banyak mengunjungi tempat baru.
Default mode dalam hal akomodasi sih jelas : I’m looking for the cheapest yet
the best place to stay. Dan ini membawa
gw untuk tinggal di tempat what-so-called hostel. Karena cuman tempat ini yang
terjangkau kantong, hehe. So, I’ve been visited some hostel here and there.
Well, gw tidak menghitung sudah tinggal di berapa hostel so far. I hate
counting, I’d better keep the memories. Jadi sembari mengingat-ingat either
good or bad memories during my adventure in hostel, I decided to write this..
Hostel paling ramah – Ngoc Thao Hostel, Ho Chi Minh City, Vietnam.
Setiap kali kata
‘hostel’ dan ‘ramah’ digabungkan, entah kenapa nama Ngoc Thao hostel di Ho Chi
Minh City-Vietnam yang muncul di bayangan gw. Gw pernah menulis panjang lebar
tentang hostel ini setelah gw mengunjungi Vietnam untuk pertama kali. I think
that the first time ever I wrote about a hostel.
Jalanan di depan Ngoc Thao. Hostel ini terletak di gang kecil di distrik 1. |
Klo lu banyak
mengunjungi hostel, lu akan tahu bahwa yang biasanya berhubungan dengan tamu hostel
adalah sang resepsionis. Jenis interaksinya juga terbatas banget, karena memang
prinsip hostel yang please-help-yourself. Sarapan silakan bikin sendiri,
selesai pakai peralatan dapur silakan cuci sendiri. Its common thing in a
hostel.
Tapi di Ngoc Thao you
will find different experience. Ini karena the hostel run by the owner itself
and his family. Jadi mereka memang tinggal serumah sama tamu-tamunya. Dan
mereka adalah keluarga yang sangat-sangat ramah. Di Ngoc Thao, tamu hanya diberi
pilihan 4 menu untuk sarapan. Itu karena mereka akan memasak langsung menu
sarapan yang kita pesan. I can assure you, we were treated like a real guest.
The breakfast is good, more than I can expect.
Pas kita lagi berdiri
di teras rumah, sang nenek (ibu si pemilik hostel) langsung berdiri dari kursi
dan mempersilakan kita duduk di kursi yang beliau pakai. Sampe gw jadi gak enak
sendiri. Pas pulang, si anak pemilik hotel, nganterin kita ke depan gang (the
hostel located in the small alley) sampe ketemu taksi yang kita pesen. I was
amazed by the family’s kindness. This kind of experience that I rarely found in
other hostel. But for me, somehow, its more like a home than a hostel…
Hostel paling murah – Aoi Garden House, Chiang Mai, Thailand.
Hostel di Chiang Mai yang tampak seperti rumah panggung dari kayu :) |
Biaya hidup di Chiang
Mai memang lumayan murah. Kira-kira separuhnya Bangkok dan yah…..seperempatnya
Jakarta. So it was the lowest price I’ve ever got for a hostel, so far….
Hostel paling mahal – Matchbox Concept Hostel, Singapore
Matchbox ini terletak di deretan rumah-rumah gaya kolonial di daerah Ann Siang Hill. Keren sih lokasi dan tempatnya :) |
P.S : The hostel was as
expected, tapi tetep ga rela gw bayar lebih mahal dari temen sekamar, huhuhuh.
P.S again: Harganya
sebenernya klo dirupiahin sesuai kurs saat itu ga beda jauh dgn duit yg gw
keluarkan untuk 1 night hostel in Japan. It just slightly more expensive.
Hostel with scary memories – Hutton Lodge, Penang, Malaysia
Ehm. Yahh. Well. Hutton
Lodge sebenernya hostel untuk backpackers yang OK banget. Yang membuat hostel
ini terkenal adalah bentuk dan design bangunannya yang tua. Khas bangunan
peninggalan jaman colonial yang masih banyak terdapat di kota George Town,
Penang. Gw seharusnya stay di hostel ini selama 2 malam. Malam pertama was OK,
gw bahkan menyempatkan diri keliling semua bangunan hostel yang gede itu. Malam
kedua, kita dipindah kamar, karena kita telat booked the room. And……………..we got
a bad feeling with the new room. Dimulai dengan AC kamar yang tiba-tiba mati
sendiri. Dan suara yang kita dengar dari jendela which
I-don’t-know-its-true-or-just-in-my-imagination. The point is, we don’t feel
comfortable in the room.
common area di Hutton Lodge |
So, we asked the
resepsionis to give us new room. Resepsionis yang malam itu bertugas memberikan
gw kamar yang tersisa, yakni kamar yang bisa dihuni 3 orang sementara gw cuman
berdua ma temen. We have no choice, so we took the room. Pas kita nge-check
kamar yang baru, the same feeling again came to us. Cahaya di kamar hanya
remang-remang, walaupun kita sudah menyalakan semua lampu kamar. Akhirnya kita
putuskan untuk pindah hostel, padahal waktu itu udah hampir midnight. Si
resepsionis marah-marah ke kita, karena cancel kamar dengan tiba-tiba. Tapi
kita tetep keukeuh mau pindah hostel malam itu juga. Alhasil, kita terpaksa
jalan kaki tengah malam buta di Penang, sambil gendong ransel, sembari mencari
hostel terdekat dari Hutton Lodge… Bukan jenis pengalaman yang ingin gw ulangi
lagi sih…
My 1st Hostel – Bedz KL, Kuala Lumpur, Malaysia.
Whatever you do for the
first time, its hardly forgotten. I can’t agree more. Gw masih bisa mengingat
dengan jelas pertama kali gw mencoba untuk stay di hostel. I think it was about
July 2010. Its my solo trip to KL. Gw penasaran pingin mampir ke KL tower, so I
decided to stay one night in KL. I pick the hostel randomly, dan Bedz KL waktu
itu menawarkan harga yang masuk akal. MYR 33 for one night stay, dengan kurs
waktu itu gw spent less than 100rb rupiah untuk satu malam. Not bad, right?
The hostel located in
Bukit Bintang. That was my 1st visit to Bukit Bintang. Dan
bertepatan dengan final Piala Dunia, malam itu Bukit Bintang ruamenya minta
ampun! Full of people!! Untungnya arah menuju hostel dijelaskan dengan sangat
mendetail di website, jadi gw bisa mengikuti petunjuk menuju hostel dengan
benar. Sampe hostel jam 11 malam, dan ternyata masih rame. (secaraaa di luar
hostel udah kayak orang demo pada teriak-teriak nonton bolaaa…)
I’ve got a dorm bed,
sekamar dengan 3 cewek lainnya. Gw adalah penghuni ke-empat kamar tersebut, so
yahh tempat tidur yang tersisa tinggal yang diatas pastinya. Mereka bertiga
berasal dari eropa, salah satunya sudah keliling asia selama 2 bulan. Huhuhuhu,
envy!! Anyway, the hostel was good. The bathroom was clean enough. Gw bangun
pagi-pagi dan jalan-jalan di sekitaran Bukit Bintang, sementara hostel masih
sepiii (mostly yang stay di Bedz KL bule, dan jam bangun mereka biasanya siiihh
diatas jam 8 pagi…).
Overall, pengalaman
pertama stay di hostel yang cukup memuaskan. Dan membuat hostel jadi tempat
favorit gw untuk akomodasi yang terjangkau kantong.
Hostel with memories – J~hoppers Osaka, Japan.
Well, its not really a
memories actually. Its just a moment of time that just can’t get out of my
mind. *halaaahhh*
Jadi ceritanya, pas waktu itu gw stay di J-hoppers hostel di Osaka. Jaringan hostel di Jepang ini cukup terkenal di kalangan backpacker. Di Osaka sendiri, hostel ini terletak di daerah yang rame dengan bar dan resto walopun bukan di pinggir jalan besar. Kebetulan, di hari ketika gw akan check out, mereka punya jadwal untuk beer party. Jadi semua tamu hostel bisa mendapatkan a glass of beer for free untuk party tersebut. Beberapa hostel memang kadang punya acara seperti ini, yang bertujuan untuk membuat tamunya lebih betah dan bisa ‘bersosialisasi’ sesama traveller. Pesta tidak hanya ditujukan untuk tamu hostel ternyata karena orang luar juga bisa gabung dengan membayar 1000 yen (apa 2000 yen, lupa gw, heheh) untuk free flow beer.
Jadi ceritanya, pas waktu itu gw stay di J-hoppers hostel di Osaka. Jaringan hostel di Jepang ini cukup terkenal di kalangan backpacker. Di Osaka sendiri, hostel ini terletak di daerah yang rame dengan bar dan resto walopun bukan di pinggir jalan besar. Kebetulan, di hari ketika gw akan check out, mereka punya jadwal untuk beer party. Jadi semua tamu hostel bisa mendapatkan a glass of beer for free untuk party tersebut. Beberapa hostel memang kadang punya acara seperti ini, yang bertujuan untuk membuat tamunya lebih betah dan bisa ‘bersosialisasi’ sesama traveller. Pesta tidak hanya ditujukan untuk tamu hostel ternyata karena orang luar juga bisa gabung dengan membayar 1000 yen (apa 2000 yen, lupa gw, heheh) untuk free flow beer.
Gw belum pernah ikutan
acara party seperti ini sebelumnya, karena biasanya sampe hostel udah malam
banget dan langsung tepar. Jadi malam itu gw memang sengaja balik ke hostel
sekitar jam 8 malam, untuk ngambil ransel yang gw titipin. Rencananya ambil
ransel dan langsung menuju bus station karena willer bus gw berangkat jam 9.30
malam itu. Gw sempet lupa sama acara pesta itu karena begitu masuk agak kaget
ngeliat common room hostel ruame banget! Kayaknya semua tamu hostel pada gak
rela melewatkan segelas bir gratis..…. Gw sempet ngelihat ada satu tong bir
gede di atas meja dapur, dan resepsionis hostel lagi sibuk bagiin glasses full
of beer. Whoaa, seru juga ngeliat orang dari berbagai Negara ngumpul di satu
ruangan gini. Some of them standing while had chit-chat. Beberapa orang lagi
berkelompok di sofa pojok ruangan sambil minum-minum.
Sampai kemudian
pandangan gw jatuh sama cowok itu. Dia kelihatan berbeda dari orang-orang di ruangan
itu karena pakaiannya. Sementara orang-orang pada pakai baju santai - you know,
padu padan antara kaos oblong+celana pendek - yang kemungkinan besar mereka
pakai setelah seharian jalan-jalan keliling kota Osaka, he’s there sit in the
kitchen table wearing a suit. Iya, dia pakai jas rapi dengan kemeja, untung ga
pakai dasi, hehe. Keliatan sekali klo
he’s not part of the hostel’s guests. Dan mungkin juga gak berminat jadi bagian
dari para bule yang cas cis cus di sekelilingnya, karena dia cuman diem, sambil
minum bir di meja itu.
Gw yang lagi mengamati
cowok itu dari kejauhan gak sadar klo si mbak resepsionis sudah menyodorkan
segelas bir ke hadapan gw. Mungkin dia inget gw tamu hostel, karena paginya gw
sempet nanya macam-macam ke dia. Gw cuman bisa bilang terima kasih sembari menerima
gelas bir itu di tangan gw, dan kemudian bingung sendiri. Bingung karena kan gw
ga mungkin minum bir juga, tapi ini bir segelas gede mau dikemanain. Akhirnya
gw beranikan diri mendekati cowok itu di meja dapur.
Gw letakkan gelas bir
itu di depannya, sambil pasang senyum dan menawarkan bir itu untuknya. Dan
ketika dia nengok ke arah gw, I just realized that he’s a Japanese dan looks
very young! Ketika gw ngajak dia ngobrol, kelihatan klo dia seneng banget.
Kayaknya seneng, karena akhirnya ada juga yang ngajak ngobrol dia, hahahhaha.
Dan bener aja, setelah ngobrol-ngobrol, gw baru tahu klo dia habis pulang kerja
(that explains his suit yang gak banget itu…) dan dia kadang ikut minum di
hostel itu karena dia bisa ketemu banyak bule-bule katanya. He wants to learn
English, dan salah satunya ya dengan latihan ngomong pake bahasa inggris sama
bule-bule itu.
Area party sekaligus common room J-Hoppers Osaka. Dia duduk di meja dapur di pojokan itu yg lagi dipakai sarapan sama tamu hostel :) |
Well, no wonder kalo
dia diem banget sendirian di meja dapur, karena bahasa inggrisnya masih
terpatah-patah tapi cukup bisa dimengerti sih sebenernya. Gw baru sadar klo gw
keasyikan ngobrol sama dia, ketika dia nanya jadwal bus gw, yang langsung bikin
gw inget klo gw harus balik ke bus station, dem!! Gw langsung cepet-cepet ambil
ransel dan pamitan sama dia. Dia akhirnya nemenin gw sampe ke pintu hostel dan
menyemangati gw dengan bahasa inggrisnya yang sepotong-sepotong.
“hurry, hurry!!” –
dengan pose nyengir dan sambil dadah-dadah. Agak aneh ya? Emang.
Begitu di luar pintu
hostel dan jalan cepat-cepat sembari membawa ransel (yang beneran berat banget
padahal cuma 10 kilo), gw baru sadar klo gw belum nanya namanya. Ya, gw belum
berkenalan sama cowok itu, walopun udah ngobrol dari tadi. Tapi kan ga mungkin
juga gw balik ke hostel cuman buat nanya namanya dia, padahal gw mesti lari-lari
(teteppp, sambil bawa ransel 10 kilo) ngejar jadwal bus menuju umeda sky garden
yang jaraknya lumayan juga dari hostel.
Jalanan dari dan menuju area hostel di Osaka |
Gak penting sih
sebenernya, dia cuman salah satu dari sekian banyak orang yang gw temui selama
perjalanan solo traveling gw di Jepang. Dan gw ga tahu namanya juga. Tapi,
entah kenapa, he left a memory for me….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar