Pages

Thank you, Bosses!

Melihat berita tentang tragedi Air Asia #QZ8501 akhir-akhir ini, yang jadi perhatian gw malah sosok CEO Air Asia Group Tony Fernandes. Gw memang ngefans sama CEO ini dari lama. Figure yang sangat down to earth dan very people oriented. Pada dasarnya, gw selalu ngefans sama CEO yang mampu mentransformasi perusahaan yang dipimpinnya. Its not easy to change a company. Ex Dirut Garuda Pak Emir dan Ex Dirut KAI Pak Jonan adalah beberapa CEO yg masuk dalam daftar favorit gw.

Anyway, back to Tony Fernandes. Begitu berita lost contact-nya #QZ8501 diumumkan, I was amazed how fast he reacted. Dia langsung terbang ke Surabaya, hari itu juga. Dia langsung lead his team untuk handle the crisis, and make a statement ‘Saya tidak tahu apa penyebabnya. Tetapi mereka ada di pesawat saya, saya harus bertanggung jawab’.
Don’t you proud having a bos like that?

His leadership, membuat gw looking back to kind of bosses that I had when I start my career. Dan gw sadar, I should be thankful enough. Gw terutama, cukup beruntung mendapatkan atasan yang sangat supportive di awal-awal masa karir gw. Its not easy to have a fresh grad as your staff, tapi atasan gw sangat sabar dan what I like is, they treat me as an adult. Mereka willing to hear me – what I think, what I want – and give me an opportunity to go after my dreams. Mereka bisa saja memberikan sejumlah alasan kenapa gw tidak bisa mendapatkan apa yang gw mau, tapi instead of doing that, mereka malah membukakan jalan untuk gw. Bos gw yang waktu itu sedang berada di Jepang, menyempatkan diri kirim email yang isinya kurang lebih begini :

"Dita, now you got the chance. Saya sudah bicara dengan Head Office, sekarang semua tergantung kamu. Good Luck.

Di situ gw sadar, a good leader memberikan sayap kepada anak buahnya untuk terbang lebih tinggi. Bukan 'menjahit' sayapnya. I was very fortunate to have Bos like that.

Another Bos of mine, mengajarkan gw bagaimana seharusnya menjadi leader. One day, si Bos nyuruh  gw minta approval bos expat untuk proposal marketing campaign yang mau kita jalankan. Ini pertama kalinya gw berurusan ma Bos expat, pas baru awal-awal kerja di Jakarta. Gw yang panic sendiri, udah pikiran macam-macam. Minta approval bos expat berarti gw mesti jelasin isi campaign donk, in English pulak. Udah bahasa inggris gw pas-pasan, ntar klo Bos expat nanya macam-macam dan gw ga bisa jawab gimana?

Melihat muka panic gw, si Bos cuman bilang gini: ‘Udah ga papa, cepat atau lambat lu juga bakal berurusan ma dia (Bos expat, maksudnya). Jadi belajar dari sekarang, dia kan bos lu juga’. Tapi tetep gw gak beranjak dari kursi. Melihat gw masih diem aja, si Bos nambahin :

"Dit, tenang aja. Klo lu bikin salah, yang kena bukan elu koq. Pasti gw yang bakal kena duluan. Udah cepet sana  (minta approval).

Kata-kata yang masih gw ingat betul sampai sekarang. Gw belajar bahwa when you become a leader, artinya lu bertanggung jawab untuk semua hal yang anak buah lu lakukan, baik ataupun buruk. When your staff make a mistakes, its your mistakes too. That way, you build trust with your team. At least, that way, gw tahu apapun yang gw lakukan, bos gw will always be there for me. Dan I will do the same thing in return.

Another chance, gw belajar how to reacting towards a mistake. Gw pernah salah bikin perhitungan komisi untuk dealer, yang membuat commission paymentnya jadi dobel. Iya, jadi gara-gara gw salah hitung, kantor jadi transfer komisi dua kali. Yang harusnya cuman 200 juta misalnya, jadi 400 juta. Jederrrrrrr. Gw langsung panik. Bok, klo gw disuruh ganti duitnya, kerja rodi seumur hidup (dengan gaji gw waktu itu) juga gak bakal cukup kali ya.

Pas gw laporan ke si Bos, tahu apa reaksinya? Ketawa. Ya, bos gw ketawa. Trus baru nanya, salah transfer berapa? Gw bilang amountnya. And his reaction was :’ Ah, belum sampai dua milyar (salah transfernya). Ga papa’
Gw : shocked. Ratusan juta aja kerja rodi seumur hidup, klo dua milyar, sampai gw reinkarnasi kali ya?
Baru si Bos nanya lagi : trus klo salah transfer, mesti ngapain?
Gw jelasin ke si bos klo gw mesti bikin official letter bla bla bla biar finance bisa narik duitnya lagi bla bla bla. Intinya, there’s a lot of procedure and lots of letter should be made.

Dan finally, Bos cuman comment:

"Salah itu biasa, Dit. Yang penting, lu tahu gimana cara memperbaikinya. Kan klo kayak gini, lu jadi belajar juga.

Beliau tidak blame gw, padahal I know, I deserved to be blamed. Tapi gak, dia bener-bener membuktikan ucapannya, klo gw bikin salah, yang kena adalah dia duluan, bukan gw. Orang finance teriak-teriak karena mereka jadi ada tambahan kerjaan, si bos cuman ketawa-ketawa. You learn more from mistake - I think I learn that from him.


Gw juga belajar salah satu hal paling penting klo jadi leader itu willing to listen. Betapa orang akan merasa di appreciate when you do that. Gw tipe orang yang klo gw gak suka, gw bilang gak suka. Pas awal pertama kerja, sifat ini dengan naifnya tidak bisa gw manage dengan baik. Pernah gw sampe kirim email yang isinya bernada kritik ke salah seorang Bos Sales (Bos gw yang sekarang, pasti tahu banget betapa gw hobi 'memberikan input' - in which he called as 'constructive comment', hahahahha...). Padahal waktu itu gw anak baru di kantor. What I said is true anyway, hanya saja tidak seorang pun berani mengutarakan point of view mereka. Jadi kebayang lah ya, si anak baru dengan begonya criticize the Boss.

Kebanyakan Bos, mungkin akan langsung menghina-dina si anak baru yang sok tahu ini. Klo perlu, si anak baru dimutasi sampe ke Timbuktu, biar gak macam-macam. Tapi yang beliau lakukan malah membuat gw amazed. What he did was, he called me to his desk. Trus dia nanya, pendapat gw tentang issue yang gw concern itu. Dan beneran nanya, beliau beneran dengerin gw. Kita beneran diskusi, beliau jelasin point of viewnya, gw pun kasih pendapat dari sisi gw. Did we find a solution? Gak. Tapi gw memahami point of viewnya. Dan dia juga tahu point of view gw. And that’s enough.

Gw mengagumi kesediaan beliau untuk manggil gw dan duduk bareng untuk diskusi. To really listen what I said – si anak baru yang sok tau ini. Gw, yang semula mengkritik dia, berbalik jadi mengagumi dia. Gak semua Bos bisa begitu, mau dengerin apa kata anak buahnya, gak perduli posisinya. Masih inget apa yang Beliau bilang : 
"Bilang aja, menurut you gimana. Saya mau denger you, karena you yang di lapangan. Mungkin you lebih tahu dari saya.

Ahhh, gw jadi kangen sama orang-orang hebat di awal karir gw... I learn a lot from them, indeed.

Anyway, nobody is perfect. Tiap orang punya gaya leadership yang berbeda-beda. Hanya saja, gw memang amat-sangat-beruntung bisa bertemu dengan orang-orang hebat tersebut di awal gw memasuki dunia kerja. Jadi gw bisa belajar banyak dari mereka. But then, gw percaya benar kata-kata ini :
If we believe we are a diamond, dimanapun kita, pasti akan selalu bersinar. No matter who you’re Bos is, if you’re good, you will always shining.

Cheers.

Tidak ada komentar: